Sebanyak 200 sekolah menengah atas (SMA) dirintis menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ini dimaksudkan untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia agar mampu bersaing secara internasional. Ditargetkan, sebanyak lebih dari 500 sekolah bertaraf internasional akan tersebar di seluruh Indonesia. Keberadaan RSBI ini banyak dikritik oleh anggota masyarakat , baik secara langsung maupun lewat media cetak atau media televisi. Inilah beberapa kritik/saran/pendapat masyarakat yang dapat saya catat di bawah ini:
- Program ambisisus Depdiknas dan berkesan dipaksakan mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
- Mengapa pemerintah begitu terobsesi dengan predikat “Berstandar Internasional’ yang dalam praktiknya kerap hanya nama saja. Sedangkan isinya tidak ada sama sekali. Kasihan masyarakat (para siswa) juga para guru yang menjadi korban.
- Kelas-kelas internasional itu sudah memecah belah antara yang kaya dan miskin. Sehingga akan ada efek psikologis dalam perkembangan anak antara yang belajar di kelas internasional dan kelas reguler.
- “RSBI, menurut saya, adalah proyek. Semestinya, kalau baik, tiap-tiap RSBI membuat indikator daya saing. Sebab, ini kan yang akan menjadi patokan daya saing dengan negara lain,” ujar Djaman Satori, guru besar bidang Penjaminan Mutu Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung .
- “Lantaran (mengaku) internasional, maka biaya pendidikan di sekolah tersebut menjadi mahal. Inilah bentuk komersialisasinya,” Kata Ketua Dewan Pendidikan Kota Medan Mutsyuhito Solin.
- Malaysia saja membatalkan pengantar Bahasa Inggris di sekolah,karena lebih mencintai bahasa Melayu.
- “Memang harus ada regulasi agar sekolah tidak memungut biaya terlalu mahal, hingga belasan juta” , kata Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional. “Akan kita dorong (mekanisme) subsidi silang agar sekolah tidak menjadi eksklusif dan elite. Ini harus diatur. Kalau tidak, nanti sekolah X, misalnya, sudah (kumpulan) anak pintar, kaya-kaya lagi“, tuturnya.
- Pendidikan kian menguras air mata. Air mata siapa lagi kalau bukan milik kebanyakan warga di negeri ini yang tak mampu mengakses lembaga pendidikan formal.
Bagaimana menurut Anda ?
Posting Komentar