Video Matematika »
Belajar matematika dengan menggunakan video dari youtube.Kunjungi segera! http://video-matematika.blogspot.com/
Home » » Ketika Bintang di Langit Berbicara

Ketika Bintang di Langit Berbicara

Written By Amin Herwansyah on 1 Jan 2012 | 14.01

Malam ini langit sangat indah, cahaya bulan keemasan dan langit bertabur bintang. Rasanya aku sedang dicumbu oleh alam, benar-benar indah. Ntahlah, setiap langit terlihat indah, aku selalu bergegas menuju luar. Paling sering duduk diatas pantar, sambil minum teh dan tersenyum mensyukuri atas nikmat yang telah diberikan Allah hingga kini. Sejak kuliah, aku konsisten menekuni kebiasaanku ini, semua berawal dari guru SMAku yang selalu membakar hatiku. Mungkin beliau tidak menyadari, tapi tak apalah… yang penting Allah maha tahu bahwa beliau sangat mempengaruhi sepak terjangku dimasa kuliah, masa kini dan masa akan datang. inilah kisahnya…

Pergi ke sekolah adalah sesuatu yang berat bagiku. Maklumlah, aku bukan anak yang cerdas dan percaya diri. Aku hanyalah seorang murid yang pendiam, gugup bila berpapasan dengan guru dikoridor sekolah dan rasa pesimis menjalar ke seluruh tubuh bila berbincang dengan teman-teman yang penuh rasa percaya diri dan prestasi.
Ya?! inilah aku, sejak SD hingga 2 (dua) bulan awal masuk SMA menjadikan sekolah seperti penjara. Aku selalu bersyukur bila Allah memberiku sakit, karena tidak perlu datang ke dalam penjara. Aku hanya merasa bahagia bila menghabiskan waktu menulis surat kepada seluruh sahabat penpalku yang tersebar di seluruh kota besar di Indonesia bahkan dunia. Jangan kaget, aku mendapatkan penpal dari berbagai majalah, mulai dari majalah bobo, Disney, aneka-yess, gadis bahkan Koran kompas. Bagiku, penpal adalah sahabat dan guru, dari mereka aku bisa melihat dunia di luar kota Sumbawa dan mengajariku banyak hal.

Aku masih ingat, aku punya sahabat dari Negara Latvia, namanya monica klosovick. Dulu ia seorang baleria cilik. Gara-gara monica aku bisa belajar bahasa Inggris walau hanya bersenjata kamus dan buku. Justru aku susah mencerna bahasa inggris yang diajarkan oleh guru SMPku. Aku mengetahui penggunaan verb dari kata-kata yang ditulis monica dalam suratnya. Monica adalah guru bahasa inggrisku saat aku duduk dibangku SMP.

Kini, aku sudah SMA. Aku selalu berkata dalam hati bahwa “aku harus berubah”, sampai kapan aku harus menjadikan sekolahku sebagai neraka. Saat itu aku berhasil masuk SMA Negeri 1 Sumbawa, salahsatu SMA terfavorit dikotaku. Seperti biasa, Lagi-lagi aku bertemu teman baru yang berprestasi, rasanya seperti terjepit dalam jeruji penjara. Hanya satu hal yang aku syukuri, aku masuk kelas favorit, kelas yang sebagian besar berisikan teman-teman yang sudah ku kenal dibangku SD dan SMP, setidaknya aku tak perlu banyak bersosialisasi. Bagiku bersosialisasi adalah sebuah proses hidup yang menyebalkan dan penuh basa basi, aku tidak pernah suka bersosialisasi dengan banyak orang.

Hari pertama di kelas 1.1 aku lebih banyak membisu. Kebetulan teman sebangku adalah teman satu asrama di Kodim, sebuah kompleks tempat tinggal bagi para TNI angkatan darat. So, teman sebangkuku lebih banyak bersosialisasi, saling memperkenalkan diri kepada teman baru. Aku menjalani masa orientasi sekolah selama seminggu dan minggu berikutnya baru aku menduduki kelas baru.

Hari pertama belajar dikelas baru, wali kelas memperkenalkan diri, kemudian pemilihan pengurus kelas tanda proses belajar mengajar akan segera dimulai. Ketika wali kelas berlalu, aku masih terdiam, aku benar-benar tak tahu, pelajaran apa yang ada datang setelahnya. Aku mencoba bercengkrama dengan teman sebangku, si Wiwik, anak sang perwira TNI-AD. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sosok guru berkulit putih, berkumis dan tidak gemuk maupun kurus. Aku masih ingat beliau menggunakan kemeja biru muda dan celana katun kitam. Singlet putih terlihat samar dari balik kemejanya. Beliau tidak langsung menyapa, hanya menebar senyum kepada kami semuanya.

Wiwik yang kagum melihat beliau berkata padaku
“dha, guru kita tampan ya”.
Bagiku beliau biasa saja, memang sih kulitnya putih dan wajahnya masih muda. Tapi aku sering melihat seperti itu didalam kota Sumbawa.
“perasaan biasa aja kok wik” kataku.
“Ye idha…, guru kita ini cakep. Sepertinya orangnya ramah” kata Wiwik.
“Assalamu’alaikum wr wb” sapa beliau.
“Wa’alaikumsalam wr wb” sapa balik dari murid sekelas.
“Selamat pagi buat yang non muslim” kata beliau, berhenti sejenak, kembali tersenyum kepada seisi kelas.

“Baik, hari pertama ini saya tidak ingin mengajar dulu. Kita saling kenal ya. Saya Amin Hermansyah, saya guru matematika kalian. Oh yach, nyantai aja ya, kalau ada yang mau makan permen silakan, makan jajan dan minum silakan, bagi-bagi rezeki juga silakan. Tapi jangan merokok, tidak dipersilakan?!” sambutan hangat dari beliau diiringi senyum.

Sambutan sederhana ini masih teringat jelas olehku, aku ingat, untuk pertama kali aku bisa tersenyum oleh sebuah sambutan seorang guru. Keteganganku luluh, entah mengapa tiba-tiba aku ingin memperhatikan Pak amin, guru matematika yang berdiri dihadapan kelasku.
“saya ingin kenalan dengan kalian satu persatu, yang berasal dari sekolah luar kota Sumbawa ada ngak?” Tanya beliau.
“ada?!!!” serempak kami sekelas menjawab.

Kemudian beliau bertanya kepada satu persatu temanku yang berasal dari sekolah diluar kota Sumbawa. Setelah itu, dilanjutkan dengan perkenalan murid-murid yang berasal dari sekolah didalam kota Sumbawa hingga akhirnya tiba namaku dipanggilnya

“Nurbaidha?!” kata Pak Amin.
Aku pun mengacungkan jari. Aku tak berani menatapnya, aku terdiam.
“nur dulu sekolah dimana?” lanjut Pak Amin
“di smp 1 pak” jawab temanku Hendra.
“asli sini ya?” kata pak Amin.

“iya, Pak, biasanya kita panggil idha, bukan Nur” jawab Hendra.
Aku hanya terdiam, menyimak obrolan Pak Amin dan Hendra. Setidaknya aku tidak perlu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Setelah mengabsen kami sekelas, beliau berjalan-jalan didalam kelas sambil bertanya,
“pernah terpikir ngak, habis SMA kalian mau kemana?” kata Pak Amin.

Aku kaget dengan pertanyaan tersebut. Baru saja aku duduk dibangku SMA, tiba-tiba ditanya akan kemana setelah SMA. Bagiku, hidup ini jalani dulu apa adanya, yang penting bisa melalui yang ada sekarang, insyaallah ingin jadi apa kita kelak, dapat diraih, Inilah konsep cita-cita menurut diriku yang dulu. Cita-cita bukan sebuah keinginan yang terlontarkan namun sebuah sikap dan tindakan nyata. Keinginan tidak akan menjadi apa-apa tanpa usaha. Jadi, berusaha dulu baru tentukan apa yang kamu inginkan.
“kalian perlu menentukan apa yang ingin kalian tuju setelah tamat SMA agar motivasi belajar itu ada. SMA ini tidak seperti SD dan SMP. Nilai di kelas satu mulai dari caturwulan 1 sampai kelas 3 nanti akan menentukan kemana arah yang dituju. Semua ingin kuliah khan?” kata Pak Amin.

Hah?!, apalagi nih, kuliah?!. Seingatku, aku tidak pernah memikirkan ini. Aku lebih menyukai menghabiskan waktu membalas surat dari teman penpal daripada memikirkan tentang kuliah. Lagipula menurutku, nilai rapot lebih pandai dalam hal menentukan arah tujuan yang kita tuju. Ngak mungkin khan dapat nilai 6 dalam olahraga berharap jadi anggota Pelatnas Indonesia.

“saya ingin kalian tentukan arah dari sekarang. Setidaknya punya keinginan apa la… nanti saya mau kerja di ini, disana…di dunia antaberanta. Jika tidak direncanakan dari sekarang, bisa jadi terlambat, kalaupun rencananya nanti, bisa-bisa ngejarnya kencang. Tetapi yang perlu kalian tahu, nilai-nilai kalian itu berharga, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga.” kata Pak Amin.

“diakhir SMA nanti, ada banyak datang undangan dari berbagai universitas. Salahsatu tiket emas untuk masuk ke universitas itu adalah memiliki nilai rata-rata.. misalkan rata-rata 8. Tidak memiliki nilai 6 selama duduk dibangku SMA. Keuntungannya masuk universitas lewat jalur ini kalian tidak perlu bersaingan dengan ribuan orang untuk menembus universitas itu. Kemarin masuk kelas plus ada tesnya khan. Ini baru tes di 1 sekolah, bayangkan saja bila 1 kursi di universitas, diperebutkan oleh ribuan orang dari seluruh Indonesia. Bisa dapat kaki kursinya boleh la…” kata Pak Amin tersenyum
Aku termenung. Teman-teman sekelilingku ikut tersenyum.

“Apapun pelajarnya, bila tidak ada motivasi akan terasa berat. Apalagi matematika, dari SD sampai SMA sepertinya ini pelajaran yang paling ditakuti ya. Ngak usah takut, saya orangnya baik kok” kata Pak Amin.

Aku masih bingung, arah mana yang harus ku tuju. Aku konsentrasi mencari-cari, arah mana yang akan aku tuju. Pak Amin dan teman-teman berdialog, sekali-kali terdengar suara tawa dari teman-temanku, namun aku masih konsentrasi. Bagaimana bila tentukan tempat tujuannya, tempat dalam bentuk kongkrit. Pengen kuliah di Yogya, Jakarta, Bandung atau kemana?. Ide ini membuatku fresh dalam berpikir. Setidaknya aku tentukan dulu, dimana lokasi yang nyaman untuk belajar. Aku berpikir, aku ingin pergi belajar ke tempat yang jauh, Sumatra atau Kalimantan.

Sepertinya seru bisa merantau ditempat yag jauh, dapat mandiri dan mengenal dunia dari sisi yang berbeda. Bagaimana dengan kedua orangtuaku?, kira-kira mereka mengizinkan ngak ya?, aku adalah anak perempuan pertama dikeluarga, berat bagi mereka untuk melepaskanku sejauh Kalimantan apalagi Sumatra. Aku harus membuat 2 tempat tujuan.

Akhirnya aku menentukan, Sumatra atau Kalimantan sebagai target pertama dan Bandung sebagai target kedua. Mamaku pasti mengizinkan aku untuk kuliah di Bandung karena mama dulu pernah pelatihan karyawan Telkom di kota Bandung. Aku mencoret Yogyakarta dan Malang dalam targetku. Kedua kota ini selalu menjadi target orang-orang Sumbawa dalam menuntut ilmu sehingga banyak bertebaran orang-orang Sumbawa dikedua kota tersebut. Jika aku harus bertemu dengan orang-orang Sumbawa, nanti lebih banyak acara ngumpul-ngumpulnya daripada petualangan belajarnya.
Tak terasa olehku Pak Amin sudah keluar dari kelas dan bel istirahat berbunyi. Keesokan harinya aku bersemangat untuk sekolah. Ini kali pertama aku melihat sekolah bukan sebagai penjara. Aku tak sabar menanti bagaimana cara Pak Amin mengajar dan mengeluarkan kosakata baru dalam memotivasi diriku.

Jam keempat dan kelima adalah jadwal Pak Amin mengisi kelasku. Akhirnya yang ku tunggu pun datang.
“assalamu’alaikum anak-anak?” sapa Pak Amin.
“yang mau makan permen, jajan silakan. Yang mo berbagi juga silakan. Tapi tidak untuk rokok” kata pak Amin. Aku tersenyum, ini kali pertama aku menemukan guru yang memperbolehkan siswanya makan permen dan jajan di jam pelajaran. Luar biasa… aku berpikir mungkin hanya kemarin beliau memperbolehkan kami ngemut permen dan makan jajan, tetapi hari ini, dijam pelajaran yang paling ditakutkan oleh seluruh anak manusia, MATEMATIKA?!.
“relax saja. Matematika ini bagi sebagian besar anak manusia adalah pelajaran menegangkan, jadi nyantaim aja biar ngak tegang. Dan jangan ada yang mencatat. Saya ingin kalian fokus kepada saya dulu, nanti nyatatnya. Fokus dulu.” kata Pak Amin.
“Baik, kali ini kita belajar Sistem Persamaan Linear (SPL). Mungkin sudah kalian dapatkan prolognya, persamaan kuadrat di bangku SMP. Ada yang belum ngerti persamaan kuadrat?” kata Pak Amin.
“Gini, pernah bayangin ngak kalau biji padi itu sebesar buah kelapa?” kata Pak Amin.
“Ngak pernah pak” serentak murid sekelas menjawab.
“Enak khan kalau biji padi sebesar buah kelapa. Masak satu saja sudah puas. Sebenarnya mau itu biji padi sebesar kerikil, pasir atau buah kelapa, konsepnya tetap sama, harus mengenyangkan bukan?” kata pak Amin.
“Misalnya Hendra masak segenggam biji pagi yang seperti pasir, dan kenyang dengan hasil masakan segenggam itu. Kemudian Hendra masak lagi satu biji padi sebesar buah kelapa, ya kenyang juga, sama rasa kenyangnya. Jadi apa bedanya ya?” kata Pak Amin.
Kami terdiam. Aku tersenyum, dalam hatiku, hua… benar juga ya, yang penting kenyang dan sama rasanya. Lalu apa hubungannya dengan SPL?. Aku jadi penasaran.
“Dari peristiwa Hendra tadi, ada dua sudut pandang yang berbeda tapi memiliki makna dan nilai yang sama. SPL yang kita pelajari ya konsep pikirnya mirip-mirip itulah. Bedanya, dipisahkan dengan tanda = “ kata Pak Amin sambil menuliskan dipapan tulis tanda = yang besar.
“Misalnya nih, disisi kanan = adalah 0. tinggal yang kiri nih. kira-kira, apa yang = 0. 1-1 = 0 khan?!, 1000 – 1000 = 0 khan?!. Pokoknya intinya, apa saja yang ada disisi kiri, yang penting nilainya 0. 1 milyar – 1 milyar = 0 khan?!. Bedanya, yang kita pelajari nih, ada sesuatu didekat 1 milyar. contoh 1 milyar - 2 milyar = 0. si bintang dan yang senyum-senyum nih siapa?, nah…. ini nih yang kita cari. “ kata Pak Amin.
“Sampai sini paham ngak?, maksud saya nyampe ngak?” kata Pak Amin sambil jalan mengelilingi kelas.
Dalam hatiku, pak Amin keren?!. Andai guru matematika dari SD sampai SMPku seperti ini, pasti matematika akan menyenangkan.
Inilah konsep mengajar Pak Amin, segala sesuatu dalam hukum matematika terlihat sederhana dan menyenangkan. Trigonometri diandaikan dengan kita bertamasya ke gunung, tiga dimensi diandaikan dengan bangunan rumah yang memiliki kamar didalam kamar dll. Alhamdulillah, beliau menjadi guru matematikaku hingga aku kelas 3 SMA.
Kebingunganku diawal masuk sekolah akhirnya mencuat kembali. Aku keasyikan dengan masa SMAku yang penuh dengan surat menyurat, mengingat dan mengutak atik soal-soal matematika dan yang tidak terlupakan, pengalaman cinta pertama. Kini, aku sudah diujung jalan, aku harus menentukan arah kemana yang akan aku tuju.
Suatu hari, seorang temanku mengajakku belajar matematika di rumah Pak Amin. Langsung aku mengiyakan walau seumur hidupku, biasanya aku selalu berkata “tidak” untuk tawaran belajar dirumah guru. Saat belajar dirumah Pak Amin, untuk pertama kalinya aku memberanikan diri bertanya kepada Pak Amin tentang sesuatu selain matematika.
“Pak, kalau bapak bingung biasanya bagaiamana?” Tanyaku
“Bingung matematika ya. Idha bingung yang mana?” Tanya Pak Amin
“Bukan matematika pak. Kalau ada sesuatu apa la” tanyaku
“Bingung masalah cowok ya?” Tanya Pak Amin nyengir.
“Bukan pak. Pokoknya bingung?” tanyaku.

“Gimana ya. kadangkala kalau malam cerah, duduk diluar dha. Natap bintang-bintang sambil ngerokok atau makan sesuatu. Bapak merenung, rasanya, bapak tidak percaya bisa ada ditempat ini. Rasanya bapak ngak habis pikir dengan hari ini. Bapak percaya, Allah itu dekat dan bumi ini luas. Apa yang terjadi ini hanya sementara. Akhirnya, bukannya bingung, malah bapak jadi bersyukur sama Allah. Baru dah, setelah hati puas dan tenang, bapak sharing ke istri, atau teman. Idha khan bisa sharing sama Wiwik, saya lihat idha dekat sama Wiwik. Banyak-banyak baca buku disaat ngak bingung juga bagus, biar banyak referensi” kata Pak Amin sambil tersenyum.
Boleh juga nih caranya. Setidaknya aku juga suka menyendiri, mungkin dengan menatap bintang-bintang, pikiranku bisa plong dan sesak dihati bisa lapang.
“Dha, kalau kuliah nanti, cari teman kost deket masjid. Bagus buat diri idha” kta Pak Amin.

Sepulang dari rumah pak Amin, aku tak sabar menunggu malam. Alhamdulillah malam cerah. langit bertabur bintang. Kebetulan dibawah tempat jemur pakaian ada pantar . Aku mengambil posisi duduk yang nyaman, pokoknya mala mini hanya boleh aku yang duduk dipantar ini. Sudah ku sediakan memang segelas kopi dan cemilan. Ku coba tenangkan diri, memposisikan tubuh serelax mungkin dan ku tatap bintang-bintang. Awalnya aku bingung. Kenapa rasanya hampa ya?.

Kemudian aku mencoba untuk memikirkan sesuatu. Aku mencoba memikirkan arah tujuanku dimasa depan. Sedikit demi sedikit, dengan mengawalinya dengan basmalah dan menyebut Allah dalam setiap harapan dan kebingungan, aku menemukan sesuatu. Lihat… ada bintang yang berlahan-lahan hadir dengan cahaya kebiru-biruan. Ada yang bergerak-gerak mendekati bintang disisinya. Ada juga sekumpulan bintang yang berbentuk laying-layang. Aku tersenyum, ini benar-benar indah.
Baiklah, sudah ku tentukan bila bintang kecil dapat bersinar indah dan menghibur manusia yang lagi sedih dan bingung, aku ingin menjadi seperti dia. Apapun profesiku kelak, aku ingin menjadi tempat yang nyaman bagi orang sekelilingku dan bermanfaat buat mereka. Aku bukan siswa yang jago kimia hingga aku harus mematok diri jadi apoteker. Aku juga bukan siswa yang jago bahasa inggris hingga harus jadi diplomat. Aku yakin, Allah itu dekat, ia akan membawa aku kepada bangku kuliah yang sesuai dengan hatiku.
Akhirnya, aku masuk kuliah dijurusan ilmu kesejahteraan sosial Universitas Jember. Disana aku belajar banyak tentang bagaimana menjadi seorang pekerja sosial, sebagai pelayan keluarga dan masyarakat. Aku tidak menyangka bintang masa depanku berbicara bahwa kelak aku berpotensi jadi seorang pekerja sosial, dan tahukah siapa diriku sekarang?, aku bangga menjadi ibu rumah tangga. Aku mengajarkan kepada anak-anakku tentang surga yang penuh dengan es krim dan coklat. Surga yang penuh dengan mainan dan sepeda. Alhamdulillah, kini anak-anakku menjadikan surga sebagai target utamanya. Aku menyadari, semua ini berkat guru matematikaku yang mengubah diriku yang pemurung menjadi penghayal bercita-cita mulia. Penghayal masa depan…

Cerita asli tulisan : Nurbaida
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : VidMath | SMANSA BEDA | PGRI Citamiang
Copyright © 2011. Media Matematik - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger