Dalam sebuah kisah maha penting tentang masa depan bangsa berkumpulah para pemimpin dari empat negara, Thailand, Vietnam, Malayasia dan Indonesia. Keempat pemimpin sudah sepakat bertemu dengan Malaikat untuk menanyakan tentang masa depan negaranya masing-masing. Dalam pertemuan para pemimpin dan malaikat, empat pemimpin antusias bertanya tentang nasib bangsanya.
Bertanyalah pemimpin Thailand pada malaikat, kapankah Thailand akan maju? Malaikat menjawab masih 20 tahun lagi. Menangislah pemimpin Thailand itu. Kemudian pemimpin dari Vietnam bertanya yang sama pada Malaikat. Jawabannya 20 tahun lagi. Menangislah pemimpin dari Thailand. Selanjutnya bertanyalah pemimpin dari Malayasia dengan pertanyaan yang sama. Jawabannya sama 20 tahunan lagi. Menangislah pemimpin Malayasia.
Dengan semangat 45 bertanyalah pemimpin dari Indonesia. Ia berharap Indonesia mendapat jawaban lebih baik dibanding Thailand, Vietnam dan Malayasia saingannya. Hai Malaikat, kapankah bangsa Indonesia akan maju? Malaikat tidak menjawab. Kata pemimpin bangsa Indonesia, “Please Malaikat, cepat dong jawab! Malaikat tidak menjawab melainkan menangis tersedu-sedu. Pemimpin bangsa Indonesia bingung. Ada apa gerangan?
Barulah beberapa waktu kemudian Malaikat menjelaskan. Indonesia tidak dapat diketahui berapa tahun lagi akan maju, dari berbagai sudut kehidupan susah disimpulkan. Memori tentang CENTURY, SIMULATOR, HAMBALANG, PAJAK , DPR Pemeras dll. Mengisi memori Malaikat. Dan yang paling berat adalah masalah dunia pendidikan. Indonesia negeri yang paling lambat bangkit bila para pendidiknya juga lambat. Jepang maju karena guru-gurunya gesit dan pembelajar. Indonesia masih banyak guru-guru yang lambat (kabeurangan) dan hanya responsif agresif pada cairnya sertifikasi dibanding pada pengembangan diri.
Tulisan ini dibuat untuk auto kritik pada sebagian guru-guru yang langganan datang terlambat tetapi pulang lebih cepat. Datang ketika semua murid sudah ada dan pulang ketika semua murid masih ada. Inilah Guru Sangkuriang dalam terminologi penulis. Guru Sangkurianglah yang menyebabkan Malaikat menangis tersedu-sedu tak mampu memberi jawaban pasti. Karena profesi gurulah yang menjadi pilar dan indikator terakhir sebagai rujukan Malaikat untuk menentukan nasib dan masa depan sebuah bangsa.
Sebaiknya Guru Sangkuriang (terbiasa kabeurangan) segera mengundurkan diri dari profesinya karena akan berdampak signipikan pada pertumbuhan dunia pendidikan. Karena nila setitik rusak susu sebelanga, masih mendingan. Dibanding karena satu/beberapa Guru Sangkuriang di setiap sekolah rusak masa depan siswa. Manusia lebih berharga dari susu, karena mereka berpeluang menjadi apapun bila proses pendidikannya baik.
Dalam pemeo penulis “Bila ingin datang paling awal (pagi) di sekolah sangat mudah. Bila ingin datang paling akhir (terlambat) datang di sekolah sangat sulit. Mengapa demikian? Karena jarang sekali para guru datang di sekolah hadir lebih pagi, kebanyakan masuk kategori terlambat karena hadir sesudah pukul 07.00an. Namun bila seorang guru datang ke sekolah terlambat, pasti bukan yang paling terlambat karena akan ada kemudian yang lebih terlambat. Berbunyilah sindiran unik. “Jangan khwatir paling terlambat karena akan ada guru lain yang lebih terlambat.”
Ini sebuah sindiran yang pernah dilontarkan penulis pada rekan-rekan pendidik (guru). Ini sebuah auto kritik bagi para guru dalam melayani siswa. Menurut penulis sebaiknya cari profesi baru bila datang selalu terlambat. Tapi profesi apa yah yang mentolerir keterlambatan. Mungkin jadi politisi kali. Karena bila sidang paripurna sering terlambat atau tidak hadir tidak apa-apa. Tapi bila guru di kelas tidak hadir akan ada apa-apa pada masa depan siswa.
Guru yang selalu terlambat dengan alasan-alasan klise sebaiknya pensiun dini. Mengapa demikian? Karena guru adalah pencetak fondasi sumber daya manusia (SDM). Bila peletak dasar SDMnya memiliki kultur terlambat, apa jadinya generasi kemudian. Siswa itu ibarat tissue kering yang mudah menyerap air. Mereka akan menyerap segala perilaku yang dilihatnya, termasuk gurunya.
Fenomena Guru Sangkuriang hampir ada disekolah manapun, terutama di sekolah negeri. Guru Sangkuriang adalah guru yang selalu terlambat (kabeurangan) datang di sekolah. Ia selalu didahului oleh murid-muridnya. Guru Sangkuriang tidak pernah (jarang) datang ke sekolah mendahului murid-muridnya. Padahal idealnya, seorang guru tidak boleh didahului oleh murid-muridnya. Guru adalah model, Ia harus menjadi contoh akan pentingnya disiplin dan berharganya waktu.
Apa jadinya negeri ini bila para guru mayoritas secara makro di Indonesia berbudaya terlambat. Ini sebuah proses penularan mental santai dan pemalas. Bukankah Nabi Muhammad adalah seorang guru, guru peradaban? Ia adalah pribadi model bagi para guru. Ia selalu tepat waktu, berjalan begitu cepat. Bila para guru sering terlambat, berjalan santai tidak meniru nabinya, apakah pantas mengaku pengagumnya? Rasanya percuma (munafik) mengagumi tapi tidak meneladaninya. Tradisi di Islam KTP memang ada hal seperti ini.
Tidaklah terlalu salah bila siswa akan meniru gurunya. Guru yang baik akan melahirkan sejumlah siswa yang baik. Guru yang tidak kompeten, sering terlambat akan melahirkan sejumlah siswa bermasalah. Akan lahir Siswa Malinkundang dari guru-guru bertipe Sangkuriang. Siswa Malinkundang adalah siswa yang tidak peduli pada ajakan baik gurunya, tidak mencintai sekolahnya. Siswa yang suka tawuran dan membolos serta terlambat. Inilah siswa Malinkundang yang tidak menutup kemungkinan lahir dari Guru Sangkuriang.
Ketidakpedulian dan apatisme siswa dapat terlahir dari kultur sekolah yang tidak kondusif. Kultur sekolah yang tidak kondusif dapat terlahir dari beberapa budaya destruktif seperti banyaknya guru yang sering terlambat, atau mangkir dari kelas. Padahal ruang kelas adalah tempat untuk mengubah generasi Malinkundang menjadi generasi unggul dan soleh.
Siswa Malinkundang dan Guru Sangkuriang dua-duanya tidak baik. Pendidik yang sering terlambat masuk kelas/sekolah dan siswa yang tidak lagi mengenal gurunya menunjukan realitas yang sangat bermasalah. Banyak siswa Malinkundang, tidak mengenal gurunya dan tidak mencintai nama baik almamaternya. Guru Sangkuriang yang selalu kabeurangan (terlambat) secara tidak langsung telah memperlihatkan ketidakmampuannya menjadi seorang guru (contoh) kedisiplinan. Padahal guru itu harus kompeten dan harus serba unggul.
Guru kompeten versi pemerintah setidaknya memiliki empat kompetensi, paedagogik, profesional, sosial dan kepribadian. Guru yang baik versi penulis setidaknya memiliki 5 hal penting yakni; bangga menjadi guru, mencintai peserta didik (siswa), berjiwa pembelajar, cerdas berkomunikasi dan memiliki keunikan/ciri khas positif.
Siswa Malinkundang dan Guru Sangkuriang pada dasarnya telah menjadi beban bangsa. Apalagi bila Guru Sangkuriang sudah tersertifikasi. Rugilah pemerintah yang telah mengeluarkan anggaran begitu besar tetapi tidak merubah sedikitpun kultur dan kompetensi para guru. Guru Sangkuriang biasanya hanya gesit dan sewot bila sertifikasi terlambat diterima tetapi adem ayem bila terlambat atau mangkir dari tugas mengajar. Ini masih ada (banyak) di dunia pendidikan kita.
Siswa Malinkundang dan Guru Sangkuriang dapat terlahir dari proses rekrutmen siswa dan guru yang bermasalah. PPDB yang tidak sehat, Murah dan mudahnya menjadi mahasiswa calon guru, serta banyaknya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tidak berkualitas menyebabkan tenaga guru diproduksi begitu banyak dan asal jadi. Kuantitas membengkak, kualitas minim. Guru yang asal jadi akan menjadi seorang guru yang jadi asal. Asal saja? Wah gawat. Berdosakah memproduksi guru yang tidak berkualitas dan mengangkatnya penjadi PNS? Gak usah bilang wow. Ini realitas di Indonesia.
Apa jadinya negeri ini tanpa guru dan sama gawatnya dengan banyaknya guru tetapi tidak kompeten. Peran guru akan berfungsi ganda. Kalau tidak mencerdasakan pasti mentidakcerdaskan (membodohi). Hati-hati pengabdian puluhan tahun menjadi guru bukan berati telah membangun kecerdasan siswa, jangan-jangan telah merusak masa depan siswa bila kita masuk kategori Guru Sangkuriang.
Guru Sangkuriang akan gagal membangun SDM dan gagal membangun budaya, ibarat Legenda Sangkuriang yang gagal membangun danau dan perahu. Padahal secara faktual bahan dan sumber daya alam sudah mungkin. Sungai Citarum yang dibendung untuk danau dan bahan untuk perahu sudah sangat lengkap. Masalahnya ada dalam budaya keterlambatan. Jangan wariskan keterlambatan pada peserta didik. Karena ini sangat bertentangan dalam era kompetisi yang menuntut kecepatan (speed). Robert B. Tucker menyebut kecepatan sebagai prasyarat kehidupan abad 21.
Konsisten dan istiqomahlah para guru yang baik, selamat berintrosfeksi para guru tipe Sangkuriang. Pesan bijak dari Legenda Sangkuriang menyiratkan bila kita punya idealitas mau membangun sesuatu (karakter/budaya/intelektualitas/moralitas) tidak akan dapat diwujudkan dengan santai dan keterlambatan. Guru yang lambat dalam segalanya hanya akan mencetak generasi lambat dalam segalanya. Generasi lambat akan dimangsa generasi lain dari bangsa lain dalam percaturan dunia global.
Tantangan terdekat adalah ACEAN community 2015. Kuncinya adalah pendidikan dan pembuka kuncinya adalah para guru. Guru yang memiliki kecepatan (akselerasi) dan adaptif terhadap sesuatu yang berkembang. Selalu dinamis dan responsif terhadap perubahan. Berubahlah para guru sekalipun sulit. Semangatlah para guru seperti semangat menyambut sertifikasi.
Posting Komentar